Ko Ping Ho

SERIAL BU KEK SIANSU

P e n d e k a r S a k t i | 1
Sungai Huang-ho atau Sungai Kuning yang amat terkenal di Tiongkok itu
menumpahkan airnya di laut Pohai, termasuk di Propinsi San-tung sebelah
utara. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kerajaan boleh ganti-berganti,
jutaan manusia mati dan hidup lagi, namun Sungai Kuning tetap
mengalirkan airnya ke dalam laut. Ketika itu, Kerajaan Tang yang
semenjak abad ke tujuh hidup subur dan makmur, dalam permulaan abad
ke delapan mulai mengalami perubahan besar. Korupsi besar-besaran
yang dilakukan oleh semua pembesar dan pegawai negeri dari yang paling
rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, membuat negara menjadi
lemah, rakyat menjadi sengsara, dan kekacauan timbul di mana-mana.
Juga bangsa-bangsa lain, seperti Tibet yang tadinya telah menjadi sahabat
baik semenjak Sron-can Gam-po, kepala suku bangsa Tibet, menikah
dengan Puteri Wan Ceng, kini mulai kelihatan mengambil sikap kurang
baik. Suku bangsa Tibet yang menjadi kuat sekali itu, seringkali
memperlihatkan sikap bermusuhan dan menghina kepada bala tentara
Tang yang menjaga di tapal batas utara. Juga suku bangsa Nam-cow
memperlihatkan sikap tidak bersahabat.
Semua ini timbul karena Kerajaan Tang nampak kacau di sebelah dalam.
Kekuatan pasukan menjadi rusak, penuh oleh kutu busuk yang berupa
panglima-panglima tukang korup besar-besaran.
Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi.
Di tepi Laut Po-hai di mana air Sungai Kuning itu tumpah, sunyi sekali
karena di situ memang merupakan tempat yang liar dan tidak didiami
orang. Siapakah berani mendiami lembah Sungai Kuning di dekat laut.
P e n d e k a r S a k t i | 2
Sama halnya dengan hidup di dekat mulut seekor naga yang liar, yang
sewaktu-waktu dapat bangkit dan mencaplok orang yang berada di
dekatnya. Tiap kali datang musim hujan, lembah yang nampak kehijauhijauan
dan amat subur itu, berubah menjadi lautan ganas.
Akan tetapi, pada waktu itu, musim hujan telah lama lewat. Lembah
Sungai Kuning itu merupakan tanah yang subur dan penuh dengan
rumput-rumput hijau. Pemandangan indah sekali, dan suara air laut
bergelombang memukuli batu-batu karang di pinggir laut, merupakan
dendang yang tak kunjung habis.
Biarpun di tempat itu belum pernah ada manusia yang datang, namun
pada saat itu, sesosok bayangan orang berdiri tegak di atas puncak batu
karang yang menghitam. Orang ini sudah tua, pakaiannya penuh tambalan
seperti pakaian pengemis, rambutnya panjang tak terpelihara, tubuhnya
tinggi kurus akan tetapi melihat wajahnya, nampak agung dan berpengaruh
seperti wajah seorang kaisar saja. Usianya sebetulnya baru empat puluh
lima tahun, akan tetapi dia sudah tampak tua karena tidak merawat dirinya.
Kakek ini berdiri tegak sambil kadang-kadang memandang ke arah
gelombang laut membuas, kadang-kadang melihat air Sungai Kuning yang
menggabungkan diri dengan saudara tuanya, yaitu air laut. Ia
mengembangkan kedua lengan tangannya yang kurus, lalu terdengar dia
bicara seorang diri.
“Air Huang-ho berasal dari hujan, lihat mendung bergulung-gulung dari
atas laut, bukankah ini namanya kembali ke asal. Alam begini besar,
kuasa, dan adil, mana bisa dibandingkan dengan kekuasaan kaisar. Alam
P e n d e k a r S a k t i | 3
bersifat memberi, selalu memberi, tidak seperti kaisar yang selain minta.
Ah, alangkah bodohnya adik Pin, mana aku mau mengikuti jejaknya. Hari
ini dia diangkat menjadi menteri, bercanda dengan kedudukan dan
kemewahan, mana dia tahu kebahagiaan sejati. Biarlah aku bercanda
dengan kekayaan alam..”
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu berlenggang-lenggang turun dari
gunung karang itu. Batu karang besar itu licin sekali karena selalu tersiram
air laut, juga ujungnya runcing-runcing dan tajam, ditambah lagi dengan
bentuknya yang amat terjal. Akan tetapi benar-benar mengherankan sekali,
kakek itu dapat berjalan turun dari batu itu seakan-akan batu itu datar saja.
Ia tidak kelihatan mempergunakan keseimbangan tubuh, hanya berjalan
biasa saja tanpa melihat batu karang yang diinjaknya.
Yang lebih hebat lagi, sambil berjalan turun, kakek ini membuka mulutnya
dan bernyanyi. Suaranya keras sekali, mengimbangi suara air laut yang
membentur karang, sehingga kalau didengar-dengar, suara air laut itu
seakan-akan menimbulkan irama musik mengiringi nyanyian kakek itu.
Dengan suara makin lama makin keras seakan-akan dia tidak mau kalah
oleh suara ombak yang makin menderu, dia bernyanyi berulang-ulang:
Kalau kau menarik gendewa,
sampai sepenuh-penuh lengkungnya,
kau akan menyesal mengapa
tak kau hentikan pada waktunya.
Kalau kau mengasah pedangmu
seruncing-runcingnya,
P e n d e k a r S a k t i | 4
ujung pedang itu takkan
dapat bertahan lama.
Kalau emas permata memenuhi rumahmu,
kau akan repot dan bingung
untuk menjaga semua itu.
Menyombongkan harta dan
mengagulkan kedudukan,
berarti menyebar benih keruntuhan.
Mengasolah setelah tugas selesai,
sesuai dengan jalan Thian-to
(Hukum Alam).”
Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu sesungguhnya bukanlah
nyanyian sembarangan saja, melainkan kata-kata bersajak dari pujangga
atau ada kalanya disebut Nabi Besar Lo-cu. Kakek itu kini sudah tiba di
atas tanah berpasir, kemudian dia lalu berjalan menuju ke laut.
Apakah yang hendak diperbuatnya. Sungguh aneh. Ia berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang menghadapi
laut. Ia berdiri di sebelah batu karang itu, menantikan datangnya
gelombang ombak yang sebesar bukit.
Ketika itu angin bertiup keras dan ombak yang datang benar-benar
dahsyat dan mengerikan. Ombak ini makin dekat dengan pantai menjadi
makin bergelombang, sikap ombak ini benar-benar merupakan ancaman
P e n d e k a r S a k t i | 5
maut. Akan tetapi, di antara suara ombak menderu, terdengar suara kakek
itu tertawa bergelak-gelak. Ombak datang dengan hebatnya, membawa
tenaga yang ribuan kati beratnya, menghantam batu karang dan juga
kakek yang berdiri itu, menimbulkan suara hiruk-pikuk menggelegar yang
terdengar sampai belasan li jauhnya. Akan tetapi, di antara suara
menggelegar ini, masih terdengar suara ketawa dari kakek aneh tadi.
Ketika ombak datang, dia mementang kedua lengannya lalu mendorong ke
depan, tubuhnya tidak tegak lagi, melainkan agak membungkuk ke depan.
Ombak memecah pada batu karang dan lenyap menjadi air yang mengalir
kembali ke tengah laut. Batu karang tadi bergoyang-goyang terpukul
ombak, dan setelah ombak lenyap, batu itu masih berdiri tegak,
memperlambangkan kekuatan yang luar biasa. Dan kakek tadi. Masih
nampak berdiri, agak terengah-engah, akan tetapi masih ketawa-tawa
senang.
“Ha-ha-ha, kakek batu karang, bukankah sang ombak tadi
mempergunakan ilmu pukulan Tin-san-ciang (Pukulan Menggetarkan
Gunung). Ha-ha-ha, pukulan itu terhadap kau dan aku sama halnya
dengan pukulan seorang bocah saja.” Setelah berkata-kata kepada batu
dan berseru, “Kakek ombak, hayo kau datanglah, pergunakan segala
tenagamu, hendak kulihat apakah kau mampu menggulingkan kakek batu
karang.”
Ombak datang memukul dan pergi lagi, namun batu karang dan kakek itu
tetap berdiri teguh. Benar-benar seperti kata-katanya tadi, kakek ini sedang
bercanda dengan ombak dan batu karang, sedang bercanda dengan alam.

Bersambung............8 April 2014
P e n d e k a r S a k t i | 6
Setelah menahan pukulan ombak sampai lima kali, angin mereda dan
ombak yang datang hanya ombak kecil saja, kakek itu menjadi bosan dan
ketika dia hendak mendarat, tiba-tiba dari atas batu karang itu melompat
turun sesosok bayangan orang dengan gesitnya. Tahu-tahu seorang
hwesio gundul yang tubuhnya seperti bola karet, bundar segala-galanya,
berdiri di depannya dan tertawa. Kemudian dia membungkuk, lalu
mendorong batu karang itu.
Benar-benar hebat sekali. Batu karang yang tadi tertimpa gelombang
berkali-kali bahkan yang entah sudah berapa ribu kali terdorong ombak
tanpa bergeming, hanya bergoyang-goyang sedikit saja, kini terkena
dorongan hwesio bundar ini, menjadi miring dan akhirnya roboh.
Hwesio itu terengah-engah sedikit, lalu menghadapi kakek tadi sambil
tertawa-tawa.
“Heh, heh, heh, Ang-bin Sin-kai (pengemis Sakti Muka Merah), biarpun
kakek ombak amat kuat, namun dia tidak memiliki akal budi seperti kita.
Mana bisa dia mendorong roboh batu karang ini.”
Kakek pengemis itu pun tertawa sambil memandang ke langit. “Di tempat
ini bertemu dengan Jeng-kin-jiu (Si Tangan Seribu Kati), sungguh amat
menggembirakan. Ada sahabat datang dari tempat jauh, bukankah itu amat
menggirangkan hati.” Kalimat terakhir ini pun adalah ujar-ujar kuno yang
diucapkan Nabi Khong Cu. “Eh, Kak Thong Taisu, kau jauh-jauh datang
dari selatan ke sini, apakah hanya untuk merobohkan batu karang ini.”
P e n d e k a r S a k t i | 7
“Pengemis bangkotan. Merobohkan batu karang benda mati ini, apanya
sih yang aneh. Kalau kakek ombak yang mampu mendorong roboh kakek
batu karang, barulah boleh dibuat kagum. Sebaliknya kalau pinceng
mampu mendorong roboh pengemis bangkotan, batu karang hidup, itu
baru namanya cukup berharga.”
Kakek yang dipanggil Ang-bin Sin-kai atau Pengemis Sakti Muka Merah
itu tertawa. “Kepala gundul, jadi kau ingin mencoba kepandaianku. Itukah
maksud kunjunganmu.”
“Ayam jago dari selatan bertemu ayam jago dari timur, mengapa banyak
berkeruyuk lagi. Masih tanya-tanya maksud kedatangan.” setelah berkata
demikian, hwesio gundul yang bertubuh bundar itu lalu menubruk maju
dengan kedua tangan dipentang seperti hendak menubruk dan menangkap
seekor katak.
Ang-bin Sin-kai maklum bahwa biarpun kelihatannya serangan ini seperti
main-main, namun hebatnya bukan main. Ketika dia mengelak sambil
melompat ke kiri, pasir dibelakangnya terkena angin terkaman ini
berhamburan ke atas dan batu karang di belakangnya bergoyang-goyang.
“Lihai sekali kau punya ilmu pukulan Yu-coan-swe-jiu (Pukulan Menembus
Air).” Kata Ang-bin Sin-kai sambil membalas serangan lawannya dengan
tak kalah hebatnya.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh yang terbesar
namanya di wilayah selatan. Di kalangan ahli-ahli silat dan perantau yang
gagah perkasa, Si Tangan Seribu Kati ini dianggap sebagai jago tua yang
P e n d e k a r S a k t i | 8
paling lihai dan disegani. Orang-orang takut dan segan kepadanya karena
selain ilmu silatnya lihai sekali, juga tabiatnya aneh dan sukar dilayani.
Oleh karena itu, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu ini hidupnya seakan-akan
terasing. Ia tinggal di sebuah pulau kosong yang kecil di sebelah selatan
Propinsi Kwang-tung dan tak seorang pun manusia berani mendatangi
pulau ini. Orang-orang hanya dapat melihat whesio gemuk ini kalau dia
menyeberang dan mengadakan perantauan di daratan Tiongkok. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, dan dia terkenal sebagai seorang ahli gwakang
(tenaga luar) yang sudah memiliki kepandaian sempurna sekali
sehingga tenaganya sukar untuk diukur bagaimana besarnya. Oleh karena
tenaga gwakangnya inilah maka dia disebut Jeng-kin-jiu.
Sebaliknya, kakek pengemis yang tinggi kurus itupun bukanlah orang
sembarangan. Namanya tidak ada orang mengetahui, bahkan Kak Thong
Taisu sendiri tidak tahu siapa nama asli pengemis tua bangka ini. Dan
hanya tokoh-tokoh besar seperti Kak Thong Taisu saja yang tahu bahwa
kakek pengemis ini berdarah bangsawan. Dia jarang memperlihatkan
kepandaiannya dan kalau berada di tempat ramai, orang hanya
menganggapnya sebagai seorang pengemis biasa saja. Tentu saja tidak
ada orang yang mengetahui bahwa dia biarpun disebut pengemis dan
keadaannya seperti pengemis, namun selama hidupnya belum pernah
mengemis. Nama julukannya Ang-bin Sin-kai atau Penegemis Sakti Muka
Merah, karena kulit mukanya memang selalu kemerah-merahan seperti
kulit seorang bayi yang sehat. Berbeda dengan Jeng-kin-jiu yang tadi
sudah mendemonstrasikan tenaga gwakangnya yang hebat ketika
mendorong roboh batu karang, Ang-bin Sin-kai ini adalah seorang ahli
lweekang yang juga sudah mendemonstrasikan tenaganya ketika dia
menyambut serangan gelombang ombak tadi.
P e n d e k a r S a k t i | 9
Dengan demikian, pertempuran yang terjadi di dekat laut ini adalah
pertempuran antara seorang ahli gwakang dan seorang ahli lweekang.
Bagi orang-orang yang tingkat ilmu silatnya masih rendah, memang
dengan mudah akan dikatakan bahwa pertempuran antara ahli gwakang
dan ahli lweekang tentu akan dimenangkan oleh ahli lweekang itu. Namun,
hal ini tidak demikian kalau si ahli gwakang sudah memiliki kepandaian
yang sempurna. Pada hakekatnya, sumber atau dasar kepandaian mereka
adalah sama, hanya Jeng-kin-jiu lebih mengandalkan tenaga kasar,
sedangkan Ang-bin Sin-kai mengandalkan tenaga lemas.
Bukan main hebatnya pertempuran itu. Keduanya berlompat-lompatan,
saling serang dan saling mengelak. Kadang-kadang saling tangkis
sehingga keduanya terhuyung-huyung. Beberapa kali mereka melompat
dengan menggunakan ginkang yang sudah sempurna sehingga seakanakan
mereka merupakan dua ekor burung raksasa yang saling terkam.
Bahkan pernah Ang-bin Sin-kai terlempar masuk ke laut dan terpaksa
berenang minggir lagi dan pada lain saat si teromok gundul itu terlempar
menabrak batu karang, akan tetapi agaknya bukan kepalanya yang pecah,
melainkan batu karang itu yang hancur pinggirnya.
Ketika mereka bertempur tadi, matahari masih berada di atas kepala
mereka, akan tetapi kini matahari telah lenyap dibalik gunung sehingga
cuaca telah menjadi remang-remang. Namun pertempuran masih
dilanjutkan dengan ramainya dan ternyata keadaan mereka benar-benar
berimbang. Dari pertempuran yang mengandalkan kecepatan gerak kaki
tangan, keduanya sampai bertempur dengan lambat sekali, seperti sedang
berlatih silat, namun sebenarnya serangan-serangan yang lambat ini
P e n d e k a r S a k t i | 10
mengandung tenaga yang akan mengirim nyawa salah seorang kehadapan
Giam-lo-ong (Malaikat Maut) kalau saja sampai terkena pukulan.
Berhubung dengan datangnya sang malam, angin mulai menyerang lagi
dan suara bergemuruh dibarengi getaran-getaran pada tanah pesisir itu
menandakan bahwa gelombang ombak membesar menghantami batu-batu
karang di pantai. Kedua orang kakek yang aneh itu masih saja melanjutkan
pertandingan mereka. Makin lama mereka merasa makin gembira karena
setelah berpisah bertahun-tahun, kini ternyata kepandaian masing-masing
menjadi makin maju dan hebat. Oleh karena air laut telah pasang, mereka
kini terpaksa pindah dan lanjujkan pertempuran di tempat yang agak tinggi.
Angin mengamuk, langit tertutup mendung tebal sekali sehingga keadaan
menjadi gelap gulita. Hanya orang berkepandaian tinggi sekali dapat
melanjutkan pertempuran dalam keadaan seperti itu. Mereka tak dapat
melihat lawan masing-masing, karena tidak mungkin melihat ke depan.
Tangan sendiri pun tak tampak, apalagi orang lain. Akan tetapi dg alat
pendengaran mereka yang terlatih baik, mereka dapat mendengarkan
sambaran angin pukulan lawan.
Menjelang tengah malam, keduanya sudah lelah sekali. Beberapa kali
mereka telah dapat saling pukul, akan tetapi pukulan-pukulan itu tidak
terlalu keras bagi tubuh mereka yang sudah kebal sehingga keduanya
masih dapat bertahan. Akhirnya usia lanjut yang menang, tubuh mereka
menjadi makin lemas dan lelah.
Pada saat mereka sedang mengadu tenaga dan kedua tangan saling
tempel dan saling mendorong lawan agar jatuh ke dalam laut dari batu

Bersambung............. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar